Popular Posts

Monday, May 02, 2011

Rumah sakit malam itu


MENJELANG MALAM

Hari ini aku praktek jaga lagi. Seharusnya sih libur, tapi berhubung dokter berhalangan masuk karena keluar kota akhirnya aku harus jaga malam diruang UGD malam ini.

"Dian, usahakan semuanya kamu yang handle ya, saya benar2 ga bisa diganggu kali ini, saya percaya kamu bisa lho, kan sudah biasa kamu ditinggal sendiri buktinya semua lancar2 aja kan?"ujar Dokter Desy diujung telepon. Ia sudah dibandara saat itu.

"Hm..iya dok" jawabku sambil garuk2 kepala.

Apes deh...

Sebenarnya sih aku ga pernah ditinggal jaga malam sendirian begini, biasanya juga ada perawat-perawat yang lain. Tapi apesnya, malam ini dua perawat jaga pada absent semua. Gina bilang dia koordinator acara nuzulul quran malam ini dimesjid dekat rumahnya, tapi klo Farah aku nggak tau kabarnya kemana dia biasa ngabur2 ga jelas begitu.

Eh iya, btw ini kan malam 17 Ramadhan ya. Malam Nuzulul Qur'an.

Aku berfikir untuk mengisi waktu tengah malam nanti dengan tadarusan sambil nungguin pasien (mudah2an aja ga ada pasen UGD datang malam ini). Tapi nanti aja deh ngajinya, menjelang tengah malam aja akn lebih afdol gitu. Sekarang aku kepengen nonton TV dulu dilobi klinik, Security jaga yang piket malam ini juga pasti lagi nonton disana.

Baru melangkah diujung koridor, Pak Amat security jaga tergopoh2 datang kearahku.

Rupanya giliran Pak Amat yang jaga malam.

"Mbak Dian, ada pasien gawat darurat didepan"

"Suruh langsung masuk aja Pak" tukasku.

Yahh..baru aja mau nyantai2 nonton tv udah ada pasien yang datang, pikirku agak ga ikhlas. Mudah2an aja kondisi pasiennya ga parah2 amat.

Weks, begitu sampai ke ruang UGD aku terperangah kaget melihat kondisi pasien yang datang. Kakek itu sudah uzur, kutaksir usianya sudah 80 lebih. Tubuhnya yang ringkih dan lemah betul-betul dalam kondisi yang menyedihkan. Ia tak bisa bernafas. Secepat kilat aku langsung memberikan pertolongan pertama, memasang selang infus, monitor detak jantung, alat pemicu kesadaran dan anestesi.

Seketika aku merasakan tubuhku merinding.

Aku tahu aku sedang berhadapan dengan siapa, seorang kakek yang akan menghadapi sakaratul maut.

Pasti diruangan ini sudah Malaikat Izrailnya..Hm.. serem bgt, pikirku Horor.

"Pak Amat, mana keluarganya? suruh masuk, saya mau bicara"

"Iya mbak" tergopoh-gopoh pak Amat keluar.

Alasan sebenarnya selain itu, aku juga mau ditemani ama keluarga si Kakek. Kan ga lucu aku sendirian nungguin beliau malam2 begini. Pikiranku udah mendadak mulai Horor lagi.

Aduh...

Sang kakek merintih menahan kesakitan dengan suara tertahan, tubuhnya nyaris membiru. Dengan bantuan alat, aku berhasil membuatnya bernafas perlahan. Tapi tetap saja, aku harus bicara dengan keluarganya tentang kondisi sang kakek yang kritis, berharap mereka mengerti. Kelihatan jelas sang kakek tak akan sanggup bertahan lebih lama.

"Mbak Dian.., cuma bapak ini yang nganterin" ujar Pak Amat yang tiba2 datang membawa lelaki tua yang badannya ga kalah ringkih dari sikakek.

"Lho?" aku melongo.

"Mana keluarga pasien?"

"Saya tukang kebunnya Bapak, keluarganya Bapak diluar negeri semua mbak, ga ada siapa2"

"Masya Allah, kasihan bener si Kakek" batinku dalam hati.

Tega banget tuh keluarganya.

Aku mendengar Pak Amat mengobrol dengan Bapak Tukang kebun dengan wajah cemas.

"Ayo pak, bimbing Bapak mengucapkan kalimat tayyibah, bacain alquran atau didoain apa kek.. ayo pak!!" ujarku pada si bapak tukang kebun.

"Saya ga bisa ngaji mbak..." tukas Pak Penjaga Kebun dengan wajah pucat.

"Ya Ampun..trus siapa dong yang bantuin do'a?, coba Pak Amat aja deh" perintahku pada pak Amat.

"Yah mbak...saya juga ga bisa ngaji.." ujar Pak Amat gelagapan sambil garuk2 kepala.

Akhirnya dua lelaki tua yang ga bisa ngaji itu kebingungan disudut ruang UGD, menontonku membimbing sang kakek mengucapkan lafal kalimat2 Tayyibah.

Beberapa menit kemudian kesadaran sang kakek pulih, matanya perlahan membuka. Aku masih memegang erat tangannya yang dingin.

"Suwito..." ia menggumam tak jelas.

"Su..wito........."

Berkali-kali ia memanggil2 nama seseorang, dengan mendesis kepayahan menahan kesakitan yang amat sangat.

"Suwito itu siapa pak?" tanyaku pada Bapak Penjaga Kebun.

"Anak kesayangannya Bapak yang tinggal di Jerman, ia tadi menelepon ga bisa datang"

Aku menarik nafas panjang.

Kasihan sekali Kakek ini. Tak ada siapapun didetik2 menjelang kepergiannya. Ia sendirian dan hanya diantar tukang kebunnya yang ga ada hubungan keluarga.

Beberapa menit berlalu, aku berusaha terus berdoa. Sambil terus menambah dosis obat penawar rasa sakit kedalam botol sikakek. Aku terus mengajarinya bersyahadat.

Jam dinding diatas ruangan berdetak menimbulkan suara tak tik tuk yang keras. Suasana sangat sepi. Dua lelaki tua yang ga bisa ngaji itu membeku disudut ruangan dengan cemas.

Mereka pasti tahu waktu sikakek takkan lama lagi.

"Aku melirik jam dinding diatas ruangan, Hampir pukul dua belas tengah malam.

Kedua Bapak2 yang menontonku tadi udah keluar, Pak Amat mau mengontrol situasi didepan. Si Bapak Penjaga kebun mungkin ke toilet. Udah hampir 2 jam dia bengong disudut dari tadi, ga ngapa2in.

Aku sendirian diruangan itu, ditemani sang pasien si Kakek yang sedang menghadapi sakaratul maut.

Ini pertama kalinya dalam hidupku.

Perlahan namun samar, aku melihat bayangan. Beberapa pria berjubah putih duduk mengelilingi sang Kakek yang terbaring lemah. Dapat kuhitung ada 3 orang pria berjubah, kesemuanya berjenggot panjang dan berwajah samar.

Ketiga pria itu berbarengan menengadahka tangannya lalu serentak menoleh ke arahku.

Aku merinding.

Aku hampir dapat melihat wajah mereka yang ditutupi jubah putih panjang. Namun samar, mereka sedang membimbing seorang lelaki yang perlahan mulai terlihat jelas dalam pandanganku.

Bulu kudukku tambah merinding.

Aku terus membaca syahadat, dengan rasa ketakutan yang amat luar biasa. Mencoba membaca sekeras2nya semua ayat alquran yang kuhapal dengan tubuh mengigil.

Aku tak mungkin kabur dari ruangan itu, bukan? Mana ada perawat yang kabur saat sang pasen sedang menghadapi maut.

"La..ilaha Illallah...Allahu Akbar.."

Aku mengucapkannya beruang-ulang disisi sang kakek.

Tik

Tik

Dua detik berlalu, aku masih membeku dan terus bersyahadat sambil memejamkan mata, berusaha tidak melihat pemandangan dihadapanku.

Lalu aku mendengar suara samar dari bibir sang kakek, samar namun jelas dan mantap.

"la..ilaha illalah..."

Sekelebat aku melihat seorang pria berjubah lagi, ia mendekat kearahku dan tersenyum. Aku bisa melihat wajahnya yang teduh.

Persis wajah sikakek.

Tit..tit..tit...

Alarm pengontrol detak jantung berbunyi keras mengagetkanku, sang Kakek telah menghembuskan nafas terakhirnya.

Semenit kemudian aku melihat semuanya samar, bayangan2 itu telah pergi. Ditengah cahaya bolham putih ruangan itu aku melihat bayangan tubuhku dipantulkan ke dinding, tak ada siapapun disana selain aku.

Jam dinding menunjukkan pukul Dua belas lewat sepuluh menit tengah malam.

"Pak Amat!!!" teriakku sambil ngacir ke pintu dengan nafas tersengal.

Ya Allah, aku mau ambil wudlu dan mau mengaji, ga ditunda2 lagipokoknya. Aku ingin kematian yang Husnul Khotimah. Aku sudah merasa Allah menitipkan pesan tentang kematian padaku dari kejadian malam ini.

Aku harus memperbanyak ibadah, apalagi ini bulan puasa.

(Duri, 21 September 2008)

No comments: