Popular Posts

Monday, February 26, 2007

Episode Caitlin

Episode Caitlin
by : Sitha

Angin dingin menerbangkan syal kuning cerah yang melilit di leherku, menghembuskan udara dingin yang menggigit ke tulang. Aku mempercepat langkahku, agak terseret menuju sebuah bangunan tua mirip kastil yang saat ini hanya tinggal beberapa meter saja didepanku. Bangunan tua yang berdinding batu berlumut, berkesan kuno tapi kesan kemegahannya masih terlihat dengan jelas. Bangunan ini akan mengantarkan aku menuju Gina- peramal yang beberapa hari yang lalu memintaku menemuinya- entah alasan apa ia memintaku datang pagi ini. Akhirnya di cuaca sedingin ini aku melintasi kawasan luar kota yang sepi Park Drive sendirian menuju tempat yang dijanjikan.
Tepat sampai didepan pintu besar utama yang terbuat dari kayu jati berukir keemasan, aku menoleh ke belakang sebelum menekan bel lonceng keemasan yang terletak di sudut atas pintu utama itu. Aku menoleh untuk memastikan Civic biru yang kuparkir di seberang jalan aman terparkir disana. Daerah ini cukup sepi dibanding kawasan lainnya, hanya ada sebuah rumah beberapa meter sebelum mencapai rumah si Peramal ini dan kawasan pekuburan tua yang berhektar-hektar luasnya.
Beberapa detik kemudian, seolah seperti ia sudah mengetahui kedatanganku. Seorang wanita muda cantik berambut pirang keemasan membukakan pintu dan menyambutku dengan senyuman "ramah" yang menurutku agak aneh. Ia mengenakan jins biru dan sweater biru muda yang dihiasi tunik kelap-kelip pada bagian depannya, ia mengikat rambutnya ekor kuda dan menghiasnya dengan pita satin kecil keperakan. Ia kelihatan sangat cantik dan modis, tidak seperti stelan seorang peramal.
Aku mengikutinya masuk melintasi ruang tengah menuju ruang baca dengan sofa sofa beludru merah yang bersandaran tinggi. Aroma farfum bunga mawar lembut merebak ke seluruh ruangan. Aku mendongak ke atas dan melihat sebuah lampu kristal cantik terpasang memberi kesan mewah pada ruangan berlampu merah marun tersebut.
"Silahkan duduk nona...Umm Nona Caitlin Jason, ujarnya dengan senyum mengembang, Senang anda mau datang menemui saya" lanjutnya masih dengan senyuman semanis madu.
Aku membalas senyumnya dingin, memikirkan betapa beratnya perjuanganku sepagi ini datang ke luar kota untuk menemuinya yang memohon-mohon padaku ditelepon memintaku datang.
"Jadi... apa yang bisa kulakukan untuk membantumu?"
Perempuan cantik itu tidak mengubah senyumannya sedikitpun, beberapa saat kemudian setelah ia berbasa basi sedikit tentang cuaca yang buruk dan rumahnya yang beraroma mawar-farfum yang menurut nya di raciknya sendiri. Akhirnya ia menjelaskan maksudnya memintaku datang untuk menemuinya.
"Aku memerlukan bantuanmu untuk membunuh seseorang", bisiknya dengan suara pelan nyaris tak terdengar.
Aku hampir melompat sanking kagetnya, aku merasa perempuan ini gila.
Aku bangkit dari kursi sofa beludrunya yang bersandaran tinggi itu dengan tergesa, aku berniat ingin secepatnya pergi dari sana.
Tetapi sebelum aku sempat melakukan apapun ia sudah keburu menarik tanganku dan memintaku tidak melakukannya.
"Saya bisa jelaskan Nona, pasti anda akan mengerti"
Kemudian gadis peramal yang bernama Gina itu mulai bercerita, tentang kisah hidupnya dan alasan kenapa ia ingin aku membantunya membunuh seseorang yang dimaksud.
Lalu akhirnya aku pulang kerumah, memacu Civic biruku meninggalkan rumahnya yang mirip puri, menjauhi kawasan Park Drive yang sunyi mencekam dengan pikiran kusut.
**************
Selama beberapa minggu kemudian, aku menjalani hari-hari yang nyaman seperti biasa. Lalu pada suatu pagi di penghujung musim dingin yang panjang, aku terbangun, bergegas mandi dan sarapan di lantai satu. Lalu masuk masuk ke mobil dengan tergesa. Kemudian aku keluar lagi dari mobil untuk membersihkan wiper kaca yang sulit bergerak otomatis karena di selimuti salju.
Selanjutnya aku menghabiskan waktu di kampus, mengerjakan tugas akhirku untuk meraih gelar Bachelor yang kuinginkan- yah hanya tinggal semester ini saja.
Beberapa minggu ini juga aku tak bertemu Gina di kampus atau dimanapun, Gadis Peramal berstelan ala gadis cheerleader pirang itu juga tidak meneleponku untuk memastikan jawaban yang akan kuberikan. Aku tahu dia mungkin tidak ingin memaksaku untuk menjawabnya dengan cepat.
Lalu ketika aku dan beberapa temanku baru selesai keluar dari kelas terakhir di hari itu dan bergegas menuju locker. Aku melihat Dennis Arthur-cowok tampan yang kutaksir- baru selesai latihan basket dan tersenyum ketika melihatku.
Wajah cowok itu bersemu merah, entah perasaanku saja atau memang benar. Lambat-lambat aku melihat senyuman mengembang di wajah tampannya.
Lalu seorang gadis menghalangi pemandanganku dari Dennis, gadis berambut pirang keemasan yang kukenal- dia Gina.
Aku hampir melompat sanking kagetnya.
"Hai Caitlin..." ujarnya sambil menyongsongku.
Lalu Gina mengajakku untuk mengobrol di belakang kampus, diam-diam aku menoleh sekilas kebelakang kearah Dennis dan melihat jelas tatapan kecewa dari wajah tampannya.
Aku tersenyum senang, aku yakin wajahku saat ini pasti bersemu merah.
Aku mengikuti Gina ke belakang kampus dan bercakap-cakap basa basi sebentar, membicarakan kampus dan cuaca yang tak menentu. Lalu duduk di sudut kelas yang menghadap ke danau beku belakang kampus yang mengilap seperti kristal.
Akhirnya seperti yang diinginkannya, aku terpaksa juga menyanggupinya. Menyanggupi permintaannya untuk membantunya membunuh orang itu. Dia adalah seseorang yang kukenal yang bernama Barkley Watson. menurut Gina pria itu adalah psikopat yang telah membunuh keluarganya dan tak seorangpun dapat membuktikan dia pelakunya. Bahkan kasus pembunuhan keluarganya yang menghebohkan Waynesbridge City lima tahun lalu itu hanya di anggap kepolisian sebagai kecelakaan kebakaran biasa. Barkley dengan bebasnya berkeliaran dan hidup dengan tenang seperti tak pernah melakukan apapun.
Lalu setelah lima tahun berlalu, akhirnya Barkley Watson pindah ke Pitts Burgh- kota yang sekarang ini kuberada- ia bekerja di kota ini dan hidup dengan tenang.
Yeah...Barkley itu adalah tetanggaku, pria itu hidup sendirian dan jarang keluar rumah. Aku rasa ia tidak punya keluarga dan bahkan aku tak ingat kapan pernah melihatnya keluar rumah atau berpapasan dengannya. Aku juga kenal namanya dari Pemilik flat tempatku tinggal sekarang, Mrs. Emilia. Wanita paruh baya baik hati itu mengatakan tetangga sebelah rumahku yang juga menyewa flat miliknya itu bernama Barkley Watson. Lelaki yang aneh.
Aku mau membantu Gina terus terang hanya karena simpati, hanya demi kemanusiaan sebagai sesama manusia. Lagipula aku tidak secara langsung ikut dalam melakukan pembunuhan itu, aku hanya orang ketiga dan posisiku aman.
Aku sungguh kasihan melihat Gina yang terpaksa harus kehilangan keluarganya akibat perbuatan yang disengaja oleh orang lain, dan orang itu dengan tenangnya hidup di alam bebas tanpa merasa bersalah. Malah bisa-bisanya ia jadi tetangga flatku.
Sampai saat pembunuhan itu tiba, awal musim semi yang wangi di penghujung bulan Januari. Aku bangun pagi dengan perasaan lebih baik, sungguh sejuta kali lebih baik.
Tadi malam aku sudah membantu Gina membunuhnya, kami memastikan dia meminum minuman keras yang dikirim Gina lewat kado natal yang terlambat dikirim. Aku melihat sendiri ia menenggak minuman itu dan kemudian pergi meninggalkan rumah dengan mobil yang mesinnya meraung dalam kesunyian.
Aku sudah melaksanakan tugasku dengan baik, aku hanya bertugas mengawasi apakah benar lelaki itu telah meminum minuman kiriman Gina yang dilabelinya dengan minuman promo dari Hole Cole. Aku melihatnya dan mengamatinya dengan menggunakan teropong dari flatku yang ada dilantai dua.
Lalu seperti yang telah direncanakan Gina, lelaki itu akhirnya pergi keluar untuk makan malam dan Gina menabraknya lalu menggiringnya untuk masuk ke jurang. Tentu saja si tuan Barkley yang dalam keadaan mabuk berat tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku ingat bagaimana gugupnya aku malam itu, menunggu telepon Gina dan berharap ia mengabarkan semuanya telah berjalan dengan baik. Aku sungguh takut dan berjalan mondar mandir dengan gelisah di ruang depan sampai hampir pukul satu malam, sampai akhirnya Gina meneleponku dan mengatakan semuanya baik-baik saja pada pukul dua belas lewat limapuluh menit.
****************
Esok paginya aku tidak menemukan berita pembunuhan itu di koran manapun di Pitts Burgh's News, hanya beberapa kecelakaan kecil diluar kota.
Aku langsung menelepon Gina dengan tergesa dari ponselku, pada dering keempat Gina menjawabnya-ternyata ia baru bangun tidur.
"Percayalah Caitlin, aku sudah membunuhnya! aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, mungkin polisi belum menemukan bangkai mobilnya di jurang itu" ujar Gina mencoba meyakinkanku.
"Jurang Willen Street itu terlalu dalam, mungkin butuh berhari-hari untuk menemukannya- tapi jangan kuatir, aku bisa bertaruh dia sudah mati"
Aku masih menyanggah perkataan Gina sampai akhirnya ia mengatakan sesuatu yang membuatku tenang.
"Apapun yang terjadi selamat atau matikah si brengsek itu, semua itu urusanku. Kau takkan kulibatkan, bukankah sudah kukatakan sebelumnya padamu Caitlin? aku sangat berterimakasih kau sudah mau membantuku, setelah itu kau bisa hidup dengan tenang dan melupakan segalanya"
Saat itu aku merasa semuanya telah selesai dan akan menjadi urusan Gina, sungguh aku tak menyangka semuanya malah membuat keadaanku hampir gila. Yeah..saat itu aku merasa diriku bagai seorang penyelamat baik hati yang menolong orang lain dan tak menyangka aku sudah memasukkan diriku ke dalam urusan yang lebih berbahaya.
*********
Pukul 3 pagi aku terbangun karena ponselku berbunyi nyaring, aku meraih ponsel dengan mata masih terpejam dan mengangkatnya pada dering ketiga.
"Halo.." aku berbisik parau dan mengantuk.
Ternyata Gina, ia berbicara cepat dengan suara dingin yang jauh. Sepertinya ia berada di tempat yang bising dan hingar bingar, suaranya kecil dan samar-samar.
"Caitlin, polisi sudah menemukan mayat pria itu di jurang, bersikaplah senormal mungkin sebagai tetangga kau pasti akan di introgasi juga dan.."
Klik, telepon terputus tiba-tiba. Sepertinya ada gangguan sinyal atau apalah namanya, kelihatannya bukan Gina yang mematikannya.
Akupun segera menelepon balik nomor Gina berkali-kali, tapi ponselnya tidak aktif.
Aku menelan ludah dan mencoba berpikir. Namun mendadak jantungku terasa berdegup lebih keras ketika samar-samar aku mendengar suara-suara keras dari luar, sepertinya suara beberapa orang dan kelihatannya berasal dari sekitar halaman rumahku.
Aku melompat dari ranjang dan mengintip ke jendela, mengedarkan pandangan dari kaca tipis berembun itu ke seluruh pekarangan rumah yang gelap. Pohon-pohon maple masih tetap berdiri di sudut pekarangan, aku bisa melihat embun yang turun melapisi kaca jendela tempatku mengintip terus-menerus melapisi rumpun-rumpun evergreen yang terlihat beku. Pekarangan depanku terlihat mencekam, hanya disinari oleh lampu teras yang putih pucat dan agak redup.
Lalu beberapa saat kemudian aku mendengar seru-seruan lagi, kali ini aku tidak mungkin salah. Ada beberapa orang diluar sana tapi bukan di pekaranganku.
Aku harus keluar, memeriksa apa yang terjadi-pikirku. Mungkin saja suara-suara itu berasal dari rumah Barkley Watson. Aku berpikir harus mengetahuinya lebih dulu, sebelum polisi-polisi datang dan mengintrogasiku.
Udara menjelang subuh yang dingin menusuk tulang menyambutku ketika aku melangkah keluar. Aku menengadah dan melihat bulan sabit melayang rendah di langit, awan gelap hitam bergumpal-gumpal diatas kepalaku. Perlahan aku berjalan diatas rumput yang basah menuju tembok pembatas rumah di pekarangan samping, aku bersembunyi dan mengintip ke arah paviliyun Barkley Watson.
Ada sebuah mobil polisi Ford Pick Up hitam terparkir disana dengan mesin hidup, lampu sirine mobil polisi itu berpendar-pendar biru merah tanpa suara-sepertinya sengaja dimatikan agar tidak memancing keributan. Aku melihat seorang polisi sedang menelepon di sisi bak mobil dan terlibat percakapan serius. Lalu seorang polisi lainnya mendekat dan bercakap-cakap dengannya.
Gina benar, polisi sudah mengetahui kematian Barkley Watson, karena itu mereka menyelidiki rumahnya untuk mengetahui motif terbunuhnya lelaki tua itu. Aku berpikir sambil menelan ludah dan merapatkan sweater kusut berwarna ungu yang kupakai untuk melapisi piyamaku. Kuharap semua berjalan sesuai rencana, tidak ada motif pembunuhan disana dan kasus itu murni kecelakaan fatal oleh pengemudi yang mabuk.
Aku hendak berbalik untuk masuk rumah ketika tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahuku dari belakang.
Tenggorokanku tercekat, aku mendadak jatuh terjerembab diatas rumput yang licin dan basah. Aku terkejut setengah mati.
Seorang polisi muda berseragam hitam-hitam berdiri dibelakangku, ia merunduk untuk melihatku yang jatuh terjerembab di rumput basah.
"Apa yang anda lakukan, Nona?" ia bertanya dengan suara berat, aku melihat mata hitamnya menyipit menyelidiki dan curiga.
Aku mengumpulkan seluruh kekuatanku untuk berdiri, sweater dan piyamaku basah-tubuhku menggigil jadi sejuta kali lebih dingin.
"A..aku tinggal disini, aku mendengar ada suara-suara dari rumahku lalu aku keluar untuk melihat ada apa" jawabku gugup.
Sekarang polisi itu yang jadi kelihatan bersalah, ia tersenyum sedikit dan matanya mengarah ke arah rumah Barkley Watson.
"Anda kenal Tuan Barkley Watson?"
Aku mengangguk.
"Barkley Watson ditemukan tewas di arah luar kota, kami disini akan menyelidiki rumahnya dan mencari informasi dari para tetangganya. Kami membutuhkan bantuan anda juga nanti Nona..maaf, nama anda?"
"Um.. saya Caitlin Jason" balasku tercekat.
Polisi itu memberikan kartu namanya padaku lalu menyuruhku masuk dan melakukan aktifitas seperti biasa, ia mengatakan besok pagi aku akan sedikit diminta informasi mengenai lelaki tua itu.

To Be Continue..

No comments: