Popular Posts

Wednesday, April 25, 2007

Sejuta cinta buat sang puteri

Sejuta Cinta Buat Sang Puteri

Angin dingin membekukan Maghdalina Farraisy, gadis Mesir berwajah cantik typikal arab blasteran eropa itu sedang berjalan tergesa. Ia memeluk setumpuk buku tebal diatas hijab lebar warna hitam menuju kearah sebuah gedung tua bertingkat 2 bergaya kolonial abad pertengahan.

Ini hari yang berat, pikirnya nelangsa sambil memejamkan mata cokelat hazelnya dan melangkah lebih cepat.

Awan gelap kehitaman sudah melayang rendah dilangit tepat diatas kepalanya ketika Maghdalina sampai di gerbang base campnya. Hujan sudah hampir turun dan menyisakan cuaca dingin yang bertambah-tambah. Ia mendorong pagar besi tua setinggi 1.5 meter dihadapannya dengan sebelah tangan sampai membuka. Lalu mendorongnya kembali dengan serampangan. Pagar klasik berukir dan agak berkarat itu berdecit-decit keras dan membunyikan suara bising memekakkan telinga.

Sampai dikamarnya, Maghdalina langsung mengunci pintu dan melompat ke ranjang dan menangis sejadi-jadinya. Ia sungguh tidak tahan lagi. Suaranya menghilang ditelan ruangan kamar kedap udaranya. Menghilang diantara suara tawa cekikikan gadis-gadis di lantai satu.
Base camp itu memang lebih mirip apartemen yang individualis.

Tiap mahasiswa yang kuliah di Egyp Maghad University berhak mendapatkan satu kamar di base camp lengkap dengan fasilitas gratis lainnya. Kampus itu milik asing yang didanai oleh Uni Eropa dan dihuni oleh hampir 90% kaum katolik Roma. Sedangkan Muslim hanya 10% itupun direkrut dari pedalaman Mesir dan hanya mahasiswa-mahasiswi yang berotak cerdas saja untuk mendapatkan besiswa bersekolah disana.

Maghdalina Farraisy berasal dari Harraj Town, sebuah kota kecil bergaya timur tengah dipinggiran sebelah utara Mesir yang berbatasan dengan Jordania. Ia gadis beruntung menurut orang-orang kampungnya, karena berhasil meraih beasiswa bergengsi itu. Tapi ayahnya menolaknya, ayahnya adalah Syekh ternama di kampung itu. Ayahnya sangat tidak setuju Maghdalina meneruskan sekolahnya ke Perguruan Tinggi Katolik itu, ia tidak ingin otak puterinya dicuci dan kemudian menjelma menjadi penganut Islam liberal seperti yang diinginkan musuh-musuh islam.

"Musuh-musuh islam menghendaki Umat Muhammad menjadi pengikutnya, tetapi jika tidak berhasil mereka akan mengubah Umat Muhammad tetap beragama Islam tetapi berprilaku seperti orang-orang diluar Islam"

Demikian ucapan ayahnya bersungguh-sungguh, sebelum akhirnya lelaki kharismatik itu terpaksa melepaskan Puteri kesayangannya pergi dengan tidak rela.

"Abi..." Maghdalina menangis tersedu-sedu.

Mahgdaline menyesali keputusannya pergi. Dengan tangan gemetaran ia megucek-ucek matanya yang basah oleh air mata. berdiri dan mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk berdiri.

Ia membongkar lemari pakaiannya, mengambil kopernya dan menjejalkan seluruh pakaiannya kedalam koper dengan tergesa. Lalu bergegas menulis serampangan di atas secarik kertas lusuh dan meninggalkannya diatas meja rias kamarnya.

Hujan sudah benar-benar turun ketika Maghdalina menuruni tangga batu menuju pintu gerbang. Ia membuka payung hitamnya dan merapatkan syal putih yang melilit lehernya. Ujung jeansnya hampir menutupi jubah hitam lebarnya mulai basah karena percikan hujan.

Maghdalina menghapus air matanya ketika sebuah taksi menghampirinya. Gadis cantik berjilbab lebar itu pun berlalu pergi bersama deru taksi yang suaranya ditelan rintik-rintik hujan. Ia sedikitpun tidak menoleh lagi.

Ia memejamkan matanya mengingat semuanya. Bagaimana kepala asrama masuk mengendap-endap ke kamarnya untuk mengambil semua baju muslimahnya lalu membakarnya diiringi sorak sorai penuh gembira gadis-gadis penghuni asrama lainnya. Otak gadis-gadis itu telah dicuci, padahal mereka tidak semuanya katolik. Ada juga yang beragama Islam tetapi penampilan mereka sudah menyerupai orang-orang liberalis yang membenci islam. Ia juga ingat bagaimana upacara setiap sabtu malam yang wajib diikuti dan meminum ramuan suci. Lalu doktrin-doktrin yang membuat kepalanya pusing dan tak sadarkan diri.

Ada lagi upacara melepas keperawanan yang dilegalkan pihak universitas. Dimulai dengan pesta topeng dan berakhir dengan minum wine dan bercampur baur laki-laki dan perempuan. Saat itulah Maghdalina pernah bertemu Abu Sayyed Fatah, mahasiswa muslim idealis jurusan Tehnik yang vokal menolak peraturan-peraturan, akhirnya ia meninggal karena dipukuli kepala asramanya. Pemuda itu tidak sudi mengikuti berbagai ritual menjijikkan itu sehingga akhirnya ia disiksa. Berita itu tidak di ekspos, tidak ada satupun manusia diluar Universitas yang mengetahui kejadian pembunuhan itu. Bagaikan lenyap ditelan dingin dan tingginya dinding beton kampus.

Maghdalina berhasil melarikan diri, ia mengembangkan senyum kebahagiaannya dan membekap gemetaran Alqur'an kecil di saku jubahnya. Ia tidak ingin agamanya di jauhkan dari dirinya.

Hampir setengah jam ia berada di taksi sehingga ia akhirya sampai distasiun kereta. Setelah menunggu hampir lima jam, kereta berikutnya tiba menuju kota kelahirannya.

Angin puyuh padang pasir menerbangkan pasir kesegala arah. Menyiramkan pasir-pasir kristal ke hijabnya, ke tas ranselnya dan ke wajahnya. Maghdalina menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Itu pagi yang membahagiakan, ia akhirnya tiba didepan rumahnya. Rumahnya yang sejuk oleh pengajian dan nasehat bijak dari ayahnya. Maghdalena yang piatu bersama seorang adik laki-lakinya yang masih bersekolah tinggal disana.

Adiknya Omar Farraisy menyambutnya membukakan pintu. Omar langsung memeluknya dan tersenyum bahagia ketika melihat wajah kakaknya pulang. Ia membawakan tas kakaknya masuk kerumah.

"Ayah sedang memberi pengajian di mesjid" ujarnya
"Ayah pasti sangat senang melihatmu pulang, ia selalu mendoakanmu siang dan malam. Ia tidak ingin kau dirusak oleh mereka dengan tipu daya beasiswa itu, ayah juga sudah mencari informasi ttg universitas lain yang baik untukmu, kalau kau mau"

"Ucapan ayah memang benar..."ujar Maghdalina lirih, ia tersenyum pada adiknya, seolah menyatakan :
Ada suatu perintah buat sang buah hati ayah ketika seorang ayah yang beriman dan berilmu islam mutlak diikuti, jangan tiru aku yang membangkang karena keegoisanku

Maghdalina dan Omar tersenyum berbarengan, tidak sabar menunggu ayah mereka pulang, untuk memeluk ayahnya dan berbakti kepadanya. Karena ayah yang berilmu agama mutlak diikuti putera-puterinya jika ingin sampai bersama-sama ke surga.

Sithaimut, Smallville, 09:43 pagi (25 April 07)
(aku rindu pa2.....aku ingin pulang kerumah selepas gajian nanti, membelikan oleh2 buat pa2 )

2 comments:

Nasywa Raihanah said...

Lunayan juga ceritanya,
www.yendi-bengkulu.blogspot.com

sitha said...

makasi ya mbak, salam kenal :)