Popular Posts

Monday, April 30, 2007

The Midnight

The MidNight

Liz berlari tergesa mengejar Nathan. Adik lelakinya yang pemalu itu berlari sekencang-kencangnya dengan perasaan marah menuju Chevrolet tua mereka yang diparkir diseberang jalan. Ia membuka pintu mobil dalam satu detik kemudian membantingnya dengan keras dan segera berlalu dari situ.
Cipratan salju dari Chevrolet tua Nathan yang berlalu memenuhi gaun malam Liz yang terlambat mengejarnya. Liz menjerit-jerit memanggil si pemuda kurus ceking dan pucat itu.
Liz tak kehabisan akal, ia bergegas berbalik sambil mengangkat separuh rok gaun malamnya sampai kebetis dan memasuki kembali ruang pesta untuk menemui Alex, teman kencannya.
Alex, si playboy itu sedang menggoda seorang gadis berambut pirang yang seksi. Begitu melihat Liz ia kelihatan gugup dan melepaskan pandangannya dari si gadis pirang.
"Aku pinjam mobilmu" ujar Liz terburu-buru.
"Kau dari mana saja? ini sudah hampir jam 12" Alex balik bertanya dengan kesal, teman kencannya yang cantik meninggalkannya demi pemuda lain yang nerd dan aneh.
"Aku akan mengejar Nathan! Pinjam mobilmu" ujar Liz sambil merebut kunci mobil dari saku belakang jins Alex, sedetik kemudian Liz sudah berlari keluar. Alex kelihatan sangat panik, ia mengejar Liz dengan terpaksa dan menyusul si gadis keluar ruang pesta.
Lima......
Empat.....
Tiga.........
Dua .........
satu........
DoR DoR..DoR
HAPPY NEW YEAR 1992
Alex yang sedang berlari merengut kesal, ia melewatkan pesta tahun barunya dari keriuhan suasana pesta didalam, demi mengejar si gadis aneh yang akan melarikan mobilnya.
Liz sudah masuk ke balik kemudi Porche Merah mengilap milik Alex. Ia menghidupkan mobil dan Alex secepat kilat masuk ke mobil.
"Kau mau kemana!" Ia bicara pada Liz dengan suara kesal.
Liz diam saja, ia menekan pedal gas poche mewah milik Alex dalam-dalam dan melaju kejalanan Luar kota Newsville yang diliputi badai salju. Di tengah malam 1 Januari 1992.
"Liz, jangan ngebut..kita akan dapat masalah!" raung Alex marah dan merebut kemudi setelah Liz makin tak terkendali.
Beberapa menit kemudian sebuah mobil polisi mengikuti mereka yang sangat ngebut. Raungan sirine bercahaya merah yang berpendar-pendar membuat keributan ditengah malam yang sepi. Liz semakin menekan pedal gas dalam-dalam dan meninggalkan mobil patroli polisi yang mengejar mereka.
Alex dengan resah terus menerus memohon Liz menepi.
"Kita berdua akan mati kalau caramu menyetir seperti ini" raung Alex marah dan dengan sekuat tenaga merebut kendali mobil.
Porche merah mengilap itu terpeleset di salju yang basah, berputar dijalan raya 180 derajat dan menimbulkan suara keras berdecit-decit yang hebat.
Alex merasakan kepalanya pusing dan basah. Ia meraba keningnya dan merasakan tetesan-tetesan darah segar yang mulai turun ke dagunya. Ia menggeser tubuhnya mencari-cari tombol pembuka pintu mobil dan menjerit kesakitan ketika menggerakkan kakinya yang terjepit. Ia akhirnya merasakan semuanya gelap.
Alex sadar ketika melihat samar-samar sinar lampu sirine mobil patroli polisi yang membawanya keluar mobil. Sebuah ambulan sudah ada disana ketika ia sudah bisa membuka mata. Beberapa petugas medis memapahnya menuju ambulan dan memeriksa lukanya. Ia melihat porche merah kesayangannya itu dari ambulans, dasbornya remuk dan kacanya pecah.
"Liz"
Tiba-tiba ia teringat gadis itu
Ia sekuat tenaga berusaha berdiri, sedetik kemudian kepalanya pusing dan ambruk. Seorang perawat lelaki dan seorang polisi membawanya masuk dan membaringkannya kembali keatas ambulans.
"Mana Liz?" ujar alex terbata
"Liz?" ulang polisi itu keheranan sambil menatap Alex
"Ya, dia gadis yang bersama saya kecelakaan didalam mobil, dia yang menyetir"
Petugas polisi itu mengeryitkan dahi keheranan, begitu juga si perawat.
"Kami tidak menemukan penumpang lain selain anda di lokasi kejadian" jelas petugas polisi itu.
Alex terkejut setengah mati.
Kemana Liz? Apakah ia kabur karena takut ditangkap polisi?
Ia masih tidak bisa mempercayai Liz bisa melarikan diri dengan kondisi mobilnya yang ringsek
Apa gadis itu sudah mati?
**********
Liz membuka mata dan merasakan kepalanya pusing. Ia melihat sosok yang dikenalnya sedang menatapnya cemas.
"Nathan" Liz bersuara lemah dan begitu gembira melihat adiknya ada dihadapannya.
Liz mengulurkan tangannya menyentuh wajah adiknya, dingin seperti es. Nathan kelihatan sangat pucat seperti kertas, matanya yang biru juga bersinar lemah dan bibirnya putih.
"Kau pucat sekali" desis Liz
Nathan kelihatan ketakutan dengan ucapan Liz. Ia mengigit bibir dengan cemas dan menatap kakaknya galau. Lalu berlalu pergi dari kamar Liz.
Liz nelangsa, ia kasihan sekali pada adiknya. Sejak kedua orang tua mereka meninggal hanya Liz yang paling dia punyai. Adik laki-lakinya yang berusia 17 tahun itu memang sakit-sakitan sejak kecil, tidak percaya diri dan fisiknya lemah. Ia bahkan tidak pernah memiliki teman selain kakaknya. Hanya Liz yang dia miliki selama ini. Karena itu Liz sanagt menyayangi dan melindungi Nathan seperti seorang Ibu.
Liz jadi ingat peristiwa tadi malam. Pesta tahun baru Avenue High School yang jahat. Alex dan teman-teman Liz lainnya mengerjai adiknya, Nathan. Bahkan sahabatnya Rebecca pun ikut mengerjai adiknya. Mereka membuat Nathan sangat marah dan akhirnya keluar dari pesta dan melarikan diri entah kemana. Lalu Liz mengejarnya dan Alex mengikutinya selanjutnya Liz tidak ingat apa-apa.
"Kenapa aku bisa ada dirumah? siapa yg mengantarku pulang?" pikirnya bingung.
Esoknya Liz kembali bersekolah, ia masuk kekelas dengan perasaan kacau balau. Ia menemukan Alex sedang berdiri ketakutan dihadapannya. Beberapa temannya langsung mendekatinya dengan tatapan keheranan.
"Liz???" Alex mengeryitkan dahi kebingungan menatap gadis yang menghilang dari mobilnya di malam kejadian.
Liz memutar bola mata hijaunya dan balas menatap teman-temannya dengan heran.
"Bagaimana perasaanmu?"
"Apakah kau sudah mengurus jenazah adikmu?"
"Kau kemana malam itu?"
"Aku meneleponmu ratusan kali tetapi kau tidak mengangkatnya"
Ternggorokan Liz tercekat, ia tak bisa bersuara. Apa yang dikatakan teman-temannya. Ia tidak habis mengerti.
Liz, gadis yang cantik, mandiri dan bersemangat itu ambruk tak berdaya dilantai rumah sakit ketika Alex dan Rebecca membawanya melihat jenazah adiknya, Nathan yang sudah berada dua hari di kamar jenazah rumah sakit North Avenue.
"Lalu Nathan yang tadi pagi kutemui siapa......??????" desis Liz kebingungan.
"Kami belum bisa menguburnya karena masih menunggu pihak keluarga" ujar salah seorang perawat yang bertugas.
Alex menjelaskan bagaimana kecelakaan yang dialaminya malam itu, tetapi ia tidak menemukan Liz disampingnya. Lalu beberapa kilometer dari lokasi kecelakannya Alex juga ditemukan sebuah kecelakaan yang lebih parah, sebuah Chevrolet meluncur ke jurang dan seorang pengemudinya tewas ditempat kejadian. Itulah Nathan yang tewas malam itu.
Liz tidak habis mengerti kenapa ia bisa sampai dirumah dan tidak mengalami cedera apapun. Begitu ia membuka mata ia melihat wajah pucat adiknya sedang menungguinya cemas.
Nathan sudah meninggal.....
Liz menangis meraung-raung, menatap penuh kesedihan dan kemarahan pada Alex dan Rebecca.
"Kenapa kalian tidak puas-puas mengerjainya..kalau kalian tidak mengerjainya ia tidak akan mati!" Liz menjerit marah dan meraung-raung seperti singa yang kesakitan. Ia mengambil sebuah kursi besi lipat dan menghantamnya ke arah Alex dan Rebecca. Lalu ia menghujam kearah Alex dan meninjunya sekuat tenaga sampai tangannya mati rasa, menarik-narik rambut prang panjang Rebecca dan berbuat seolah-olah mematahkan tubuh gadis itu jadi dua.
Liz hilang kendali, beberapa petugas medis menahannya dan membuatnya meronta-ronta sekuat tenaga untuk membebaskan diri. Liz menjerit-jerit dan menangis sejadi-jadinya.
"Aku akan membunuh kalian berdua!!" raung Liz marah
Alex dan Rebecca berdiri disudut dengan ketakutan dan perasaan bersalah.
Beberapa Minggu Kemudian
Liz mengepak seluruh barangnya, ia akan pindah kekota lain. Ia ingin melupakan kejadian buruk dikota ini dan memulai hidup baru di kota lain.
Liz berharap bisa melupakan semuanya dan merasa lebih baik dikota yang baru. Ia tak tahu kemana tujuannya tetapi ia yang sebatang kara akan merasa lebih baik jika meninggalkan kota yang membuatnya sangat tidak nyaman ini.
Beberapa menit kemudian Liz keluar dari rumah kontrakan kecilnya di Avenue Millage Street, berjalan cepat ke arah halte diujung blok dan masuk tergesa ke dalam sebuah bis yang sedang berhenti disana. Lalu berlalu bersama Bus tersebut.

No comments: